Teknik Memberi Sugesti Dalam Rinai Kabut Singgalang

ALIYA NURLELA
Novelis, pegiat (Forum Aktif Menulis) FAM Indonesia

Muhammad Subhan lahir di Medan, Sumatra Utara, 3 Desember 1980. Berdarah Aceh-Minang. Saat ini berdomisili di Padangpanjang, Sumatra Barat. Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang. Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan/seminar tentang kepenulisan/jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, serta tulisan-tulisan lainnya diterbitkan sejumlah media—baik lokal maupun nasional. Novelnya yang sudah terbit berjudul “Rinai Kabut Singgalang” yang berlatar Minangkabau.

Saya mengenalnya di penghujung tahun 2011 melalui dunia maya. Sebuah perkenalan biasa melalui media sosial dan saling berkomentar dalam status. Hingga kemudian terjadi diskusi ringan seputar tulis-menulis, saling bertukar karya dan tercetuslah ide kolaborasi karya dan membukukan kumpulan cerpen. Tanggal 2 Maret 2012, saya dan Muhammad Subhan sepakat mendirikan wadah kepenulisan yang bertujuan menyebarkan semangat cinta menulis di kalangan generasi muda khususnya siswa sekolah dasar, SLTP, SLTA, mahasiswa dan kalangan umum lainnya. Wadah tersebut diberi nama “Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.”

Pertama kali membaca novel “Rinai Kabut Singgalang (RKS)”, saya sempat membolak-balik novel tersebut, karena heran dengan gaya penulisannya yang jarang sekali ditemui pada masa sekarang—kecuali novel-novel era Balai Pustaka. Pertanyaan yang muncul di benak saya, mengapa penulis menggunakan gaya bahasa yang tidak lazim? Gaya bahasa yang mungkin tak banyak diminati oleh anak-anak muda modern. Di mana generasi muda sekarang lebih cenderung menyukai gaya bahasa yang sesuai dengan zamannya. Namun RKS berbeda, dan di sinilah keunikan pertama yang ditangkap pembaca. Kita seolah sedang membaca karya sastra pengarang prosa zaman Balai Pustaka, yang pada saat ini, sudah jarang penulis menggunakan gaya bahasa tersebut. Hal lain yang menunjukkan demikian kuatnya novel RKS mendekati “gaya” pengarang angkatan BP, terlihat pada ciri khasnya. Di mana karya-karya prosa zaman BP, memiliki ciri khas memberi sugesti pada pembacanya. Seolah-olah cerita yang disuguhkan itu nyata ada. Saya acungi jempol kemahiran penulis dalam mempertahankan gaya dari awal hingga akhir cerita.

“Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru, sempatkanlah singgah menatap keindahan Gunung Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah perbukitan kecil di tengah pesawahan yang terbentang luas hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam, namanya terukir.” (RKS, hal. 447).

Pada paragraf di atas jelas sekali, penulis menggambarkan seolah-olah jasad Fikri disemayamkan di kaki Singgalang. Teknik bercerita seperti ini mengajak pembaca mendekat seakrab mungkin dengan tempat yang menjadi latar cerita. Bagi siapa saja yang berkunjung ke kaki Singgalang, akan timbul rasa penasaran dan bertanya, di manakah kuburan Fikri berada? Sekilas saya teringat pada Novel Siti Nurbaya yang menyuguhkan cerita dengan latar tempat yang sangat jelas. Tanggal, bulan dan tahun pun ditulis dengan rinci. Seolah-olah bukan cerita fiksi tetapi sebuah sejarah dua orang insan di masa lalu: “Pada nisan yang kedua tertulis: ‘Inilah kubur Siti Nurbaya, anak Saudagar Baginda Suleman, meninggal pada tanggal 5 Dzulhijjah tahun 1315.’ (Siti Nurbaya).

Penulis cukup piawai mendeskripsikan tempat yang menjadi latar cerita. Pembaca diajak mendekat seakrab mungkin dengan seluruh peristiwa dan tokoh yang diperankan, seolah ikut berpetualang di setiap tempat yang dijadikan latar cerita. Hingga, cerita terasa benar-benar hidup. Seolah terjadi di alam nyata.

Sepanjang cerita kita akan disuguhi kesedihan dan kematian. Kematian dan kematian beberapa tokoh dalam cerita ini, terasa sangat dominan. Berawal kematian ayah dari tokoh utama, disusul kematian beberapa tokoh baik atau tokoh yang berpihak pada tokoh utama, hingga kematian tokoh utama itu sendiri di akhir cerita. Tragis! Penulis seperti tak ingin membiarkan tokoh utama untuk tersenyum barang sesaat menerima nasib baik. Tokoh utama diajak berhadapan dengan kegetiran demi kegetiran hidup dalam setiap bagian kisahnya. Penulis sedikit sekali memberikan ruang kepada pembaca untuk bernapas lega, berhenti dari ketegangan, melesapkan air mata dan menyunggingkan senyum. Usai kegetiran satu, akan cepat-cepat disusul dengan kegetiran berikutnya. Bahkan, secuil kebahagiaan untuk tokoh utama diselipkan penulis dalam luka tokoh Rahima, yang akan menjadi kisah kesedihan berikutnya.

Berantainya kesedihan dalam cerita, tentu penulis bermaksud menyuguhkan sebuah realita kehidupan manusia pada umumnya, yang cenderung lengah dari musibah di kala menemukan sedikit kebahagiaan. Tak bisa dipungkiri, kebahagiaan terkadang melenakan. Ketika kebahagiaan itu dipergilirkan dengan datangnya kesedihan, maka di sanalah manusia diajak bersikap waspada. Pada bagian ini, terselip pesan positif bagaimana sikap tokoh utama menghadapi kepahitan demi kepahitan hidup yang datang silih berganti. Penulis berhasil menanamkan sikap tegar pada diri tokoh utama, yang menjadi karakter tokoh tersebut. Kalaupun pada satu bagiannya, diceritakan tokoh utama benar-benar terpuruk dalam kesedihan, saya menangkap ini bukan kelemahan sikap yang tiba-tiba menjadi karakter tokoh tersebut. Tapi penulis hendak mendudukkan tokoh utama pada keumuman manusia, yang kadang mengalami masa-masa rapuh. Setegar apa pun seseorang, ketika kegetiran demi kegetiran menimpa hidupnya, maka manusiawi jika ia pernah terpuruk. Tema cerita yang dikemas secara apik inilah yang cenderung diminati pembaca karena menyuguhkan cerita mengharu-biru.

Penulis telah membuktikan bahwa ada batasan antara imajinasi dan realitas yang harus diterobos melalui pendekatan psikologis, bahwa karya fiksi bukan sekadar “rekaan semata.” Melalui kesantunan bahasa yang diselipkan serta nilai-nilai Ilahiah yang banyak kita dapati di dalam cerita, penulis seakan ingin menepis anggapan, bahwa karya fiksi hanyalah hiburan semata atau sekadar pengisi waktu luang. Secara tidak langsung, RKS adalah karya fiksi yang dikerjakan sepenuh hati oleh penulisnya. Bukan berangkat dari kekosongan atau tanpa pijakan yang jelas. Tetapi justru memiliki nilai-nilai penting yang bermanfaat bagi pembaca, ada ideologi yang diperjuangkan dan kental sekali dengan adab-adab moral.

Novel RKS telah membuktikan sebagai karya yang layak dibaca oleh para penikmat karya sastra. Penulis telah berhasil menyajikan pesan-pesan bermakna dalam cerita, pemaparan latar tempat yang sangat rapi dan isi cerita yang dapat diterima secara rasional. RKS bagi saya menjadi jembatan mengenal Minangkabau dan budayanya. (*)

Sumber: Harian Singgalang edisi Minggu, 30 November 2014

Tinggalkan komentar