Materi Menulis Kreatif di Pesantren Ramadhan

MUHAMMAD SUBHAN
Email: rinaikabutsinggalang@gmail.com

MENULIS merupakan tradisi ulama terdahulu. Ulama-ulama di masa lampau banyak yang menulis. Mereka tidak sekadar jago berkhotbah, tetapi juga menuangkan gagasan dan pemikiran ke dalam tulisan, baik di suratkabar, majalah, maupun buku. Karya mereka masih kita temukan dan kita baca hingga kini.

Sebut satu nama paling populer di Minangkabau, ulama yang juga sastrawan, Buya HAMKA, meninggalkan karya-karya fenomenal. Selain tafsir Al-Azhar yang berjilid-jilid itu, kita juga membaca roman-romannya yang mencerminkan kesantunan dan keindahan bahasa.

Roman-roman itu dicetak ulang, bahkan beberapa di antaranya dilayarlebarkan. Dari buku-buku beliau, kita tahu betapa beratnya perjuangan dakwah Islam di masa lampau, di zaman penjajah, dan kita juga mengetahui bermacam persoalan kemasyarakatan yang terjadi di masa itu.

Ulama-ulama lain, menyebut beberapa nama seperti: Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Abdul Karim Amrullah, Muhammad Djamil Djambek, Sulaiman ar-Rasuli, Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai el-Yunusiyyah, Mohammad Natsir, adalah ulama-ulama yang juga berdakwah melalui tulisan (bil qalam). Mereka telah tiada, tapi pemikirannya tetap ada, abadi, melampaui zamannya.

Melihat sepak-terjang ulama-ulama itu, sudah sepatutnya, tradisi menulis dilanjutkan oleh generasi muda Islam hari ini. Kemudahan teknologi seharusnya disambut dengan produktivitas berkarya, bukan sebaliknya larut dibawa arus globalisasi yang melalaikan dan melupakan dakwah.

Dakwah dimaknai tidak selalu berdiri di atas mimbar dan di depan kelas. Dakwah juga dapat dilakukan dengan berbagai media, salah satunya menulis. Jangkauan dakwah melalui tulisan menembus batas ruang dan waktu, melintasi negara dan benua.

Pewarisan tradisi menulis dari ulama-ulama itu pintu masuknya dapat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan, melalui sanggar-sangar menulis (sastra). Pihak sekolah harus menyediakan waktu dan porsi lebih ekstra untuk siswa menuangkan kreativitasnya. Pendampingan kepenulisan perlu rutin dilakukan, sebab menulis ibarat pisau, harus terus menerus diasah. Jika tidak akan tumpul.

Dan, sudah menjadi tradisi pula, di saat bulan Ramadhan tiba, siswa ditugaskan mengikuti Pesantren Ramadhan atau Pesantren Kilat di masjid dan musala terdekat. Siswa dibekali buku laporan yang mencatat tugas harian khususnya catatan ceramah ustaz di malam Ramadhan.

Khusus Pesantren Ramadhan, materi umum yang diberikan pendamping masih seputar Ibadah, Tauhid, Fiqh, Akhlak dan Tarikh (Sejarah Nabi SAW dan Sejarah Khulafaur Rasyidin). Tapi sedikit—dan nyaris tidak ada—masjid atau musala yang memasukkan materi pengembangan diri berupa Kepenulisan Kreatif.

Materi yang sama dari tahun ke tahun cenderung menimbulkan ‘kekakuan’ dan menciptakan interaksi pembelajaran yang monoton. Materi-materi itu sudah sering siswa dapatkan di sekolah maupun di lembaga-lembaga pengajian eksternal yang mereka ikuti. Seharusnya, Pesantren Ramadhan menambah materi pengembangan diri yang asyik dan menyenangkan, dan salah satu pintu masuknya melalui “literasi”, khususnya tulis menulis.

Tidak salah Pesantren Ramadhan menambah materi Penulisan Kreatif, misalnya menulis puisi Islami, cerpen Islami, atau membaca puisi-puisi Islami, juga mendiskusikannya. Keterampilan itu perlu terus diajarkan untuk membentuk karakter siswa lewat pembelajaran karya sastra.

Tim Pesantren Ramadhan di masjid dan musala dapat mengundang sastrawan, penulis, bahkan wartawan sebagai narasumber kepenulisan kreatif. Narasumber tidak harus berlatarbelakang ‘Ustaz’, yang penting memiliki kemampuan menulis yang baik dan kompetensinya sudah diuji publik lewat karya-karyanya.

Memasukkan materi literasi atau kepenulisan kreatif ke dalam kurikulum Pesantren Ramadhan akan menciptakan pembelajaran yang asyik dan menyenangkan, tanpa mengurangi bobot materi-materi lainnya. Dari kegiatan itu akan menumbuhkan minat dan bakat siswa, selain upaya kaderisasi melahirkan ulama-ulama yang juga mampu menulis di kemudian hari.

Kita menunggu lahirnya Hamka-Hamka baru, atau juga Natsir-Natsir baru, yang membumikan kata lewat karya, dan upaya itu tidak mustahil diwujudkan. Selamat menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin.(*)

Diterbitkan di:
HARIAN RAKYAT SUMBAR, SELASA, 25 APRIL 2017

Tinggalkan komentar