Valentine Day

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day. Sebagian memahaminya sebagai Perayaan Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari).

Versi lain menyebutkan, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari. Sementara The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak jelas siapa “St. Valentine” yang dimaksud. Kisah-kisah ini juga tidak ketahuan ujung-pangkalnya karena setiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menelusuri sejarahnya, tampak bahwa Valentine’s Day tidak jelas asal-usulnya alias banyak versi yang tidak pasti. Bisa dikatakan sebagai akal-akalan saja yang digunakan oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan agama tertentu. Sekarang, Valentine lebih ke arah kebebasan yang kebablasan untuk memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan yang dicintai, khususnya kalangan remaja. Bagi generasi muda muslim, jika tidak diwaspadai, ini sangat berbahaya.

Menurut Seksolog dari Surabaya, dr. Andik Wijaya, SMSH, di balik kegembiraan anak muda merayakan Valentine ternyata tersembunyi bahaya besar yang mengintai para aktivisnya. Mulai dari penularan HIV/AIDS hingga kehamilan tak dikehendaki. Sekarang Valentine’s Day nuansanya cenderung romantis dan erotis, kata dr. Andik.

Bukti lain disebutkan, pergeseran makna Valentine‘s Day, di Inggris 14 Februari malah dicanangkan sebagai “The National Impotence Day” (Hari Impoten Nasional) dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman impotensi 2 juta pria Inggris. Sedang di AS lebih parah lagi, 14 Februari ditetapkan sebagai “The National Condom Week” (Pekan Kondom Nasional).

Di tahun 2004, Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) pernah melakukan survei terhadap remaja pinggiran Kota Bandung seperti Cimahi, Batujajar, Padalarang, dan Lembang. Sebanyak 500 angket disebarkan kepada siswa siswi tingkat SMA di daerah tersebut. Setelah angket dikumpulkan, hasilnya sangat mengejutkan! Dari 413 responden yang menjawab angket secara “sah” 26,4% di antaranya mengaku lebih suka merayakan Valentine bersama ‘gebetan’ atau kekasih dengan jalan-jalan, makan-makan lalu berciuman (melakukan seks). Begitupun, lembaga sosial Family Health International (FHI) Jawa Barat yang berkedudukan di Kota Bandung, mempublikasikan hasil riset dan surveinya tentang perilaku seks remaja Kota Bandung. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa 54% remaja Kota Bandung pernah berhubungan seks! (Kompas, 25 Januari 2006). Bahkan, persentasenya paling tinggi dibandingkan kota-kota besar lain, seperti Jakarta (51%), Medan (52%) dan Surabaya (47%).

Meski di Sumatera Barat belum terdengar ada lembaga yang melakukan survei yang sama, setidaknya fenomena yang terjadi di berbagai daerah itu menjadi perhatian serius kita (orangtua, guru, ulama dan pemerintah) sebelum dampak terburuk terjadi. Untuk itu, lindungi generasi muda kita dari bahaya Valentine yang virusnya semakin menyebar ke mana-mana.

Diterbitkan di:
KORAN HARIAN HALUAN, KOLOM REFLEKSI, 14 FEBRUARI 2009

Tinggalkan komentar