Satu Hari Ketika Kau Bilang Bulshit!

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

Di kampus Fakultas Kedokteran, sesudah mata kuliah Psikologi Abnormal.

“Aku harap kau membenciku.”

“Tidak. Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Aku mencintaimu.”

“Tapi aku sudah jadi milik orang lain.”

“Aku tahu. Cinta tak harus memiliki.”

“Tapi sikapmu membuatku tidak nyaman.”

“Oh. Aku tidak berharap apa-apa. Aku hanya ingin mengagumimu.”

“Terima kasih. Tapi aku ingin kau bersikap biasa kepadaku.”

“Aku biasa saja. Mungkin kau yang menilainya berbeda.”

“Itu yang aku rasakan.”

“Kau selalu bermain perasaan.”

“Ya. Aku perempuan. Kau laki-laki.”

“Apa bedanya?”

“Jelas beda.”

“Aku ingin tahu perbedaan itu.”

“Kau hanya tahu logika, tapi aku lebih dari sekadar logika.”

“Apa aku salah mengatakan kalau aku mencintaimu dengan logikaku?”

“Aku sudah bilang berkali-kali, aku sudah ada yang punya. Tolong hargai aku.”

“Tapi kau belum menikah.”

“Ya. Tapi aku akan menikah.”

“Aku akan menunggu sampai kau menikah.”

“Apa yang kau tunggu?”

“Menunggu kau untukku. Mana tahu Tuhan memberi keajaiban, hatimu tiba-tiba berubah, lalu kau pun mencintai aku.”

“Ah. Kau brengsek!”

“Haha. Jangan katakan itu. Aku orang baik. Aku tulus mencintaimu, walau kau tak mencintai aku.”

“Aku mohon. Akhiri semua ini. Aku tertekan.”

“Oh. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

“Tapi sikapmu menyakiti aku.”

“Aku menawarkan kebahagiaan.”

“Tawaranmu hambar. Sekali lagi aku tegaskan, aku sudah bertunangan!”

“Iya. Aku tahu. Kawan-kawanmu juga mengatakan itu.”

“Lalu apa lagi?”

“Tidak ada apa-apa lagi. Apakah salah aku berharap?”

“Apa yang kauharapkan?”

“Ketika kau mencintai aku.”

“Harapan gila!”

“Kenapa gila?”

“Kau ngerti nggak sih? Aku ini bukan gadis jomblo. Aku punya pacar. Sekarang aku sudah bertunangan. Nih, lihat! Ini cincin tunangan dari calon suamiku.”

“Ya, aku tahu.”

“Kau hanya bilang tahu dan tahu. Tapi kau tak juga mengerti.”

“Karena aku mengenal kau dan banyak tahu tentang dirimu.”

“Lalu, apakah kau masih memaksakan diri untuk berharap?”

“Kata orang, sebelum janur kuning dipasang di teras rumah, aku masih punya harapan memiliki dirimu.”

“Bulshit! Basi!”

“Haha.”

“Kau semakin menyebalkan.”

“Aku tahu.”

“Kau gila ya?”

“Terserah kau mau bilang apa. Aku hanya mencintaimu.”

“Edan!”

“Apakah orang yang jatuh cinta itu edan?”

“Ya. Sangat edan. Mata dan hatimu sudah tertutup dari akal sehat.”

“Aku sangat sehat.”

“Tapi hatimu tidak. Kau sakit. Pergilah ke psikiater.”

“Bukankah kau calon psikolog? Kaulah psikiater yang tepat buatku.”

“Bulshit!”

“Aku tak suka kau menyebut kata itu.”

“Kalau kau tak suka, hentikan semua ini. Pergilah!”

***

Di auditorium Psikologi Fakultas Kedokteran. Di saat pesta wisuda.

“Kenapa kau di sini?”

“Ikut merayakan hari bahagiamu.”

“Duh. Kumohon, pergilah. Dia akan datang.”

“Siapa dia?”

“Tunanganku.”

“Tidak salah kan aku juga datang?”

“Salah!”

“Kenapa?”

“Kau akan menyakiti perasaannya.”

“Perasaan siapa?”

“Tunanganku.”

“Aku tidak berbuat apa-apa kepadanya.”

“Dia akan cemburu. Tolong pergilah. Atau menjauh dari sini.”

“Kau masih marah?”

“Sangat marah!”

“Aku minta maaf.”

“Aku akan memaafkan jika kau tak ada di sini.”

“Aku akan sedih.”

“Persetan.”

“Kau kasar sekali.”

“Kau yang membuat aku bersikap kasar.”

“Tapi aku baik.”

“Baik apa? Kau bisa merusak acaraku.”

“Aku hanya ingin melihat kau diwisuda. Itu saja. Setelah itu aku akan pergi.”

“Iya. Tapi kalau tunanganku tahu, dia bisa marah.”

“Kenapa dia marah?”

“Karena kau ada di sini.”

“Dia kan tak kenal aku.”

“Tapi aku sudah menceritakan semua kepadanya tentang dirimu yang sangat menyebalkan itu!”

“Oh. Kau tega.”

“Ya, karena kau juga tega kepadaku.”

Hening.

Protokol mengumumkan bahwa wisudawan dan wisudawati segera menduduki kursi yang telah disediakan panitia. Beberapa saat lagi upacara wisuda dimulai.

“Semoga kau lulus dengan Yudisium Cum Laude.”

Gadis itu tidak menoleh lagi. Dia mengangkat gaun batik yang dikenakannya dan agak menyentuh lantai. Tergesa-gesa ia berjalan ke depan, ke tempat duduk wisudawan-wisudawati. Sepatu hak tinggi yang ia pakai membuat dirinya agak sulit berjalan.

Lelaki itu menatap gadis itu dari jauh.

Gadis itu tak lagi peduli kepadanya.

***

Proses wisuda berakhir.

Ratusan wisudawan dan wisudawati merayakan hari bahagianya. Mereka melempar toga ke udara. Bliz kamera berpendar ke seluruh ruangan.

“Selamat ya?”

“Bulshit! Kau lagi. Kenapa kau masih di sini? Oh my god, di mana dia?”

“Siapa?”

“Tunanganku.”

“Apakah dia datang?”

“Ya, dia harus datang, dan dia sudah janji akan datang.”

“Kau yakin dia datang?”

“Sangat yakin. Ini pasti gara-gara kau!”

“Lho, kok gara-gara aku? Apa pasalnya?”

“Ya. Mungkin dia melihat kau di sini.”

“Tapi aku tak melihat dia.”

“Kau benar-benar telah merusak hidupku!”

“Maafkan aku, aku tak berniat begitu.”

“Tapi kau telah berbuat begitu!”

“Aku hanya ingin membahagiakanmu.”

“Bulshit! Nyatanya kau menghancurkan hidupku!”

“Jika itu penilaianmu, aku minta maaf.”

“Tak ada lagi maaf untukmu. Pergilah!”

***

Di sebuah Seminar Psikologi Anak, seusai acara.

“Presentasimu bagus sekali.” Seorang laki-laki tampan, memakai kemeja kotak-kotak berlengan panjang, berkaca mata, berdiri di hadapan seorang perempuan muda yang tengah asyik menyalami peserta seminar.

“Terima kasih. Oh, kau…”

“Ya. Aku.”

“Bagaimana kau ada di sini?”

“Aku salah seorang peserta. Jadi, tidak salah kan aku ada di sini?”

“Bukankah…”

“Ya. Setelah kau wisuda, dan pertemuan terakhir itu, aku ikut tes CPNS, dan lulus. Aku diterima sebagai dosen di kota P. Setelah beberapa tahun, aku ditugaskan ke sini.”

“Oh, selamat.”

“Terima kasih. Tentu kau sudah hidup bahagia sekarang, dengan suami yang baik dan anak-anak yang lucu.”

“Oh. Aku…”

“Kenapa?”

Hening.

Bola mata perempuan itu berkaca-kaca. Ruangan telah sepi.

“Aku belum menikah,” suaranya membisik.

“Why? Bukankah dulu kau sudah bertunangan, dan kau bilang akan menikah?”

“Ya. Tapi ternyata tidak semudah itu.”

“Maafkan aku telah menanyakan itu.”

“Kau tidak salah, dan tidak perlu minta maaf.”

“Aku yakin aku salah. Sebab aku sudah menghancurkan hidupmu.”

“Aku katakan tidak. Hmm, karena kau sudah di sini, aku yang ingin minta maaf kepadamu.”

“Kau tidak pernah salah kepadaku.”

“Aku merasa banyak salah.”

“Tidak.”

“Hmm, kau tidak juga berubah.”

“Berubah apanya?”

“Keras kepala!”

“Haha.”

“Oh ya, bagaimana dengan istri dan anak-anakmu?”

“Istri dan anak-anak?”

“Iya. Pasti kau sudah menikah.”

“Kau yakin?”

“Sangat yakin.”

“Kau salah.”

“Kenapa?”

“Aku masih berharap, istriku adalah kau, dan anak-anakku lahir dari rahimu.”

“Kau gila!”

“Mungkin.”

“Haha.”

***

Di beranda sebuah hotel yang menghadap laut.

Malam temaram. Purnama menggantung di sudut langit.

“Aku bahagia sekali.”

“Aku juga.”

“Terima kasih kau sudah hadir dalam hidupku.”

“Aku yang harus mengatakan itu.”

“Tidak, aku.”

“Hmm. Sejak kapan kau belajar jadi keras kepala?”

“Haha. Sejak aku mencintaimu dan kau menjadi suamiku.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Hmm, tanpa kata bulshit?”

“Haha.”

Perempuan itu mencubit lengan suaminya. Lelaki itu mengaduh, atau pura-pura mengaduh.

Malam semakin larut. Yang tersisa hanya lenguh ombak menjilat bibir pantai.

“Aku sayang kamu.”

“Aku tahu.”

Setelah itu tak ada lagi suara.

Sunyi. (*)

Padangpanjang, Maret 2015

Muhammad Subhan, bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Menulis novel, cerpen, puisi, esai. Saat ini sedang menyiapkan buku kumpulan cerpen. Tinggal di pinggir kota Padangpanjang.

Tinggalkan komentar