Ketika Sastrawan Bersilaturahim

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

Silaturahim itu indah. Kata Nabi, dapat memanjangkan usia dan memudahkan rezeki. Setidaknya itu pula yang saya rasakan ketika diundang sebagai salah seorang peserta Silaturahim Sastrawan Sumatra Barat 2015, Sabtu, 22 Agustus 2015, lalu di Hotel Basko Padang.

Dan benarlah, di tengah-tengah para sastrawan senior itu, saya merasa lebih muda—walau lima tahun lagi sudah kepala empat. Di hari itu juga, rezeki saya bertambah; dapat segelas-dua gelas kopi, sepiring kue dan nasi, berjumpa kawan-kawan lama yang belasan tahun tak bersua, dan tentu juga dihadiahi panitia buku gratis sebab sepotong esai dan sekerat cerpen saya ikut dicetak di dua buku: Dari Kemilau Masa Lalu (Kumpulan Esai dan Kritik Sastra) dan Sepenggal Rindu Dibatasi Waktu (Kumpulan Cerpen). Panitia meluncurkan tiga buku, satu lagi berjudul Patah Tumbuh Hilang Berganti (Kumpulan Puisi). Selain itu, ikut diluncurkan beberapa buku karya sastrawan Sumatra Barat lainnya.

Kegiatan yang digagas sejumlah sastrawan, budayawan, kritikus sastra, dan akademisi di Padang tersebut, patut diapresiasi. Alasannya, pertama, para penggagasnya adalah orang-orang yang mencintai silaturahim sehingga terwujudlah acara itu. Kedua, ide dan konsep acara didiskusikan di jejaring sosial (facebook) dengan nama group “S3 (Silaturahim Sastrawan Sumbar)”. Bukan sekadar wacana di dunia maya yang cenderung isinya ‘ota lapeh’, tapi betul-betul diwujudkan lewat diskusi-diskusi terbatas di dunia nyata, khususnya di Taman Budaya Sumbar.

Ketiga, panitia bukanlah orang-orang pemerintah yang menjadikan kegiatan ini sebagai acara (proyek) pemerintah, tapi betul-betul digerakkan di arus bawah dengan semangat silaturahim. Karena bergerak dari bawah, dukungan dari atas pun datang. Setidaknya, Senator DPD RI Hj. Emma Yohanna membantu memfasilitasi kegiatan tersebut dan telah memudahkan urusan panitia. Acara silaturahim itu dihelat di ruang hotel mewah dan nyaman, berpendingin dan pencahayaan ruang yang menyenangkan. Biar bagaimanapun, persoalan dana adalah masalah krusial panitia—apa pun acaranya—setiap menggagas atau mengadakan sebuah kegiatan. Dan, di tahun-tahun berikutnya, kita merindukan sosok “Emma Yohanna-Emma Yohanna” lainnya yang peduli terhadap “syiar sastra” (kesenian secara umum) di Sumatra Barat.

Keempat, acara ini terbilang baru sebab tahun-tahun sebelumnya acara bertajuk “Silaturahim Sastrawan” belum pernah diadakan di Sumatra Barat. Sastrawan-sastrawan Sumatra Barat lebih dianggap “bergengsi” jika mengikuti Temu Sastrawan di luar Sumatra Barat dibanding di daerah sendiri.

Tentu, karena ini positif, harapan kita, tidak sekali muncul lalu tenggelam ditelan zaman, tetapi menjadi agenda tahunan, bahkan jika perlu setahun dua kali dihelat. Konten acaranya pun lebih dipadatkan lagi, lebih matang, termasuk pengisi acara (narasumber) yang variatif, jika memungkinkan mengundang sastrawan-sastrawan di luar Sumatra Barat yang netral memperbincangkan karya sastra terkini, dan tidak sekadar “memuji-memuji karya sendiri dan kejayaan masa lalu”. Tema lebih luas bisa diusung, misalnya “Memperbincangkan Karya Sastrawan Sumatra Barat di Panggung Sastra Indonesia”. Tentu, kacamata orang (sastrawan) luar akan lebih objektif ketika membentang kertas kerja, dan pengetahuan-pengetahuan baru akan lebih banyak didapat, khususnya menjadi media edukasi pagi penulis-penulis muda yang mengikuti acara itu.

Saya optimis, para penggerak “S3 (Silaturahim Sastrawan Sumbar)” mampu menjadikan kegiatan ini sebagai “ikon” pertemuan sastrawan Sumatra Barat bergengsi di kemudian hari yang akan menjadi “perhatian” bagi sastrawan-sastrawan lainnya di luar Sumatra Barat.

Pertemuan pekan kemarin, sebagai peserta, saya merasa belum mendapatkan apa-apa, sebab di sesi diskusi, moderator hanya memancing peserta bertanya dan mengemukakan pendapat. Tidak ada narasumber berkompeten yang didudukkan dan dapat menjawab pertanyaan peserta. Hasilnya diskusi terkesan “ngambang”. Pancingan-pancingan moderator soal “30 tahun terakhir tak ada novel bermutu dari Sumatra Barat” juga tidak ditanggapi peserta sebab “sudah selesai” dalam polemik panjang di sebuah koran harian di Padang 2011 silam. Silaturahim Sastrawan Sumbar ini benar-benar diisi dengan “semangat silaturahim”; sekadar kumpul-kumpul, ota-ota lapeh, makan-minum, dan kodak-kodak seusai acara, lalu foto-fotonya diposting di jejaring sosial. Tapi jadilah, kita harus mendukung acara ini terus ada, dan berharap ada pertemuan berikutnya yang lebih bermakna.

Sebagai sebuah usulan, mungkin panitia “S3 (Silaturahim Sastrawan Sumbar)”, untuk pertemuan berikutnya (jika masih ada dan digagas kembali), menjadi wadah yang dapat mendata (mengumpulkan) karya-karya penulis (sastrawan) Sumatra Barat minimal 10 tahun terakhir. Karya-karya itu bukan sekadar masuk di database panitia, tetapi juga diagendakan untuk diperbincangkan di pertemuan berikutnya dengan mengundang narasumber-narasumber yang berkompeten di bidangnya. Buku-buku itu dibahas, dibedah, didiskusikan kelebihan dan kekurangannya, sehingga menjadi kegiatan yang menarik, asyik dan menyenangkan, dan dapat menjadi media pembelajaran bagi si penulis buku. Sekali pertemuan bisa membahas 5-10 judul buku dengan narasumber berbeda dan jumlah waktu yang ditentukan. Buku-buku yang akan dibahas harus disediakan oleh penulisnya. Untuk membedah buku-buku itu, panitia juga dapat melibatkan akademisi-akademisi sastra di perguruan-perguruan tinggi yang mempunyai pisau analisis teori kritik sastra, tetapi tulisan mereka jarang muncul di koran-koran lokal.

Jika gagasan ini bisa dilakukan, alamat gairah sastra di Sumatra Barat semakin menggeliat dan lebih apresiatif terhadap munculnya penulis-penulis baru dengan karya-karya baru yang semakin banyak jumlahnya. Karya sastra Sumatra Barat pun akan terpetakan, mulai karya-karya populer hingga karya-karya serius. Kritikus-kritikus sastra ikut bermunculan yang beberapa dekade terakhir “menghilang” dari koran-koran Sumatra Barat.

Mungkinkah gagasan ini bisa dilakukan? Semoga saja. Hanya semangat silaturahim yang dapat mewujudkannya. (*)

Diterbitkan di:
HARIAN SINGGALANG EDISI MINGGU, 30 AGUSTUS 2015

Tinggalkan komentar