Pedagang Kaki Lima

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@gmail.com

Sebuah keluarga di Pesisir Selatan memperlebar dapur rumahnya. Di tanah dapur itu, berdiri sebatang pohon Pokat tua berbuah lebat. Ada keinginan orangtua empunya rumah menebang pohon itu karena dianggap mengganggu pembangunan dapur. Tetapi, seorang anaknya berpikir lain, pohon itu jangan ditebang, dibiarkan tumbuh di tengah-tengah dapur.

Akhirnya, pohon itu tetap hidup, berdiri kokoh dan terus berbuah, meski buah-buah yang sudah tua kemudian jatuh sendiri mengempas atap dapur yang terbuat dari seng. Dapat dibayangkan suara berisik yang mengejutkan jantung ketika buah Pokat itu jatuh. Sekali dua kali keadaan itu mengusik kenyamanan empunya rumah. Tetapi, dari hari ke hari, hal itu sudah dianggap biasa; menjadi hiburan.

Waktu berlalu, dan tidak disangka pohon Pokat itu mendatangkan uang. Di saat buahnya lebat, keluarga pemilik pohon menjual buah-buah Pokat itu ke tetangga, atau setidaknya untuk dikonsumsi sendiri, sebab Pokat mengandung manfaat untuk kesehatan tubuh. Seandainya pohon ditebang, mungkin saja empunya rumah tidak menikmati buah Pokat seperti di saat buah itu secara rutin berbuah dan memberi keuntungan lain bagi keluarga di rumah itu.

Cerita ini semacam ilustrasi bagaimana menjadi “bijaksana” ketika membangun tanpa harus menggusur. Bisa jadi sesuatu yang dipandang mengganggu atau bahkan memperburuk objek pembangunan tetapi dilihat dengan sudut lain dapat membawa keuntungan. Di sini dibutuhkan kearifan pemangku kebijakan untuk menata dengan hati sehingga pembangunan yang dilakukan memenuhi unsur estetika dan memberi manfaat bagi masyarakat terutama kalangan miskin.

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabene orang-orang berlatarbelakang ekonomi bawah akan terus tumbuh di mana terdapat pusat-pusat keramaian. Mereka memakai ruang-ruang publik, ruang hijau, khususnya di kota-kota besar, termasuk di Sumatra Barat. PKL muncul tidak lain sebab “kegagalan” pemerintah membuka lapangan pekerjaan lebih luas sehingga masyarakat mencari pekerjaan alternatif untuk bertahan hidup. Kehadiran PKL itu bukan “musuh” yang harus diberantas, ditutup periuk nasinya, tetapi ditata, ditertibkan dengan rasa empati, dirangkul dengan hati, sebab kehadiran mereka ikut memberi dampak bagi perekonomian kota.

Menjadi PKL masih lebih baik daripada melakukan tindakan kriminal. Menjadi PKL masih lebih bermartabat dibanding melacurkan diri atau menjadi pengemis. Menjadi PKL adalah batu loncatan untuk kemudian hari menjadi pengusaha-pengusaha sukses yang kelak memberi pengaruh bagi pembangunan kota bahkan negara.

Bacalah biografi pengusaha-pengusaha sukses hari ini. Sebagian besar di antara mereka mengawali karirnya dari berjualan di kaki lima, lalu bertahap mematangkan diri menjadi pengusaha profesional yang mendatangkan omset ratusan juta hingga miliaran rupiah. Sebagian mereka pun berjiwa sosial, dan kekayaan yang dimiliki disumbangkan untuk pembangunan masjid, membantu pesantren dan panti asuhan, memberi beasiswa kepada pelajar-pelajar kurang mampu di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Itu mereka lakukan sebab sudah pernah merasakan susahnya menjadi orang susah.

Sudah selayaknya pemerintah menyambut dengan penuh kegembiraan munculnya PKL-PKL itu dan memudahkan mereka berusaha. Caranya memberi edukasi kepada PKL untuk menjadi pedagang yang baik dan benar; mematuhi aturan dan hukum, serta memberi bantuan modal usaha sekaligus menyediakan fasilitas selayaknya untuk memudahkan mereka menjual dagangan.

Pemerintah harus melindungi PKL dan memberi hak-hak mereka sebagai rakyat kurang mampu, agar mereka tumbuh menjadi masyarakat mandiri yang di kemudian hari mampu membayarkan kewajiban (pajak) mereka sebagai warga negara yang baik. Hadirnya mereka juga telah membantu meringankan tugas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Adalah omong kosong bicara kesejahteraan jika masyarakat yang memilih PKL sebagai jalan usaha tidak diperhatikan, atau malah dipersulit, diancam bahkan ditakut-takuti.(*)

Diterbitkan di:
HARIAN RAKYAT SUMBAR EDISI SENIN, 16 JANUARI 2017

Tinggalkan komentar