Membawa Anak ke Toko Buku

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@gmail.com

SAYA merasa bersyukur dapat berinteraksi langsung dengan sastrawan Indonesia Taufiq Ismail sepanjang tahun 2009-2012. Di tahun-tahun itu saya diberi kepercayaan mengurus Rumah Puisi yang berdiri di kaki antara pertemuan dua gunung; Marapi dan Singgalang.

Rumah itu terletak di Aie Angek, masuk ke wilayah administratif Kabupaten Tanah Datar. Jaraknya 6 km dari Padangpanjang, atau 11 km dari arah Kota Bukittinggi. Hampir setiap hari, di saat rinai turun, kabut indah juga ikut turun menyelimuti rumah ini. Baca lebih lanjut

Membaca Dunia Kontemplasi Kemala

SASTRI BAKRY
Novelis, Penyair, Aktivis Perempuan

Pengantar
Ahmad Khamal Abdullah, Sastrawan Negara dan Pemenang SEA WRITE AWARD 1986 dari Malaysia ini saya kenal ketika acara baca puisi di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Aie Angek. Dato Kemala—begitu biasa saya memanggil namanya—adalah tamu kehormatan. Tentu saja karena Dato Kemala dan rombongannya saat itu membawa misi kemanusiaan. Misi kepedulian Akademi Penyair Malaysia (APMA) atas musibah gempa di Padang. Sebuah buku berjudul Gempa di Padang dilewakan di sana. Tanggal persisnya saya tak ingat. Sekitar awal Februari 2010. Banyak penyair yang hadir baca puisi. Selain saya, ada Basril Jabar, Wisran Hadi (alm), Rusli Marzuki Saria, Muhammad Ibrahim Ilyas, Iwan Soekri, Muhammad Subhan, dan beberapa sastrawan lain yang saya tak ingat namanya. Tak ketinggalan tuan rumah Taufiq Ismail dan rombongan Malaysia lainnya.

Kali kedua, saya jumpa lagi baca puisi di rumah Walikota Pariaman, bersama Iwan Soekri dan penyair Pariaman. Masih dalam misi kemanusiaan gempa di Pariaman. Saya menjadi iri dan terinspirasi melihat kepedulian mereka. Terus terang seniman Sumatra Barat belum sempat memerhatikan hal demikian karena masih asyik “memerhatikan diri sendiri”. Rasanya ingin juga menggerakkan seniman dan sastrawan kita. Baca lebih lanjut

Realitas Kekinian di Buku Puisi “Sajak-Sajak Dibuang Sayang”

Padang Panjang, sumbarsatu.com – Penulis novel “Rinai Kabut Singgalang” (2011), Muhammad Subhan, tahun ini merilis buku terbarunya, sebuah kumpulan puisi “Sajak-Sajak Dibuang  Sayang”. Buku itu menghimpun 117 puisi yang ia tulis selama kurun waktu 1998-2014.

Menurut Muhammad Subhan, Kamis (23/04/2015), seluruh puisi di buku tersebut adalah puisi-puisi karyanya yang telah terbit di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Buku itu diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Baca lebih lanjut

Perlakukan Karya Tulis Seperti “Anak” Sendiri

SURYA Online, PADANG – Karya tulis, apa pun jenisnya, perlu diperlakukan seperti anak sendiri. Penulis, sebagai orang yang melahirkan karya itu, harus mempunyai rasa kasih sayang sehingga “anak” yang dilahirkannya dapat tumbuh besar, dan kelak, kehadirannya memberikan manfaat bagi banyak orang.
Baca lebih lanjut

Remaja Malas Membaca, Ciyus Miapah?

DODI PRANANDA

Rendahnya minat baca remaja, sebagai suatu persoalan, bukan lagi sebuah masalah yang aktual. Permasalahan ini telah lama diapungkan dengan berbagai keresahan banyak pihak yang menilai remaja malas membaca.

Hal demikian, pada skala tertentu dapat dimaklumi. Kenapa? Pesatnya kemajuan teknologi yang membuat kehidupan manusia terjebak dalam kehidupan yang serba digital, membuat kecendrungan remaja khususnya, menjadi malas bersentuhan dengan yang manual (katakanlah buku).
Baca lebih lanjut

Proses Kreatif Seorang Sastrawan

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

Saya beruntung sempat “bekerja” mengurus Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat—6 km dari kota Padangpanjang atau 11 km dari arah kota Bukittinggi. Saya bekerja sekaligus “study sastra” di rumah itu lebih kurang 4 tahun (2009-2012) dan bergelut dengan buku-buku yang menjadi koleksi pribadi Penyair Taufiq Ismail. Koleksi buku Rumah Puisi banyaknya 7.000 judul, atau sekitar 11.000 eksemplar, disusun di dalam 32 almari yang berjejer rapi. Tema buku beragam, mulai dari agama (15%), pengetahuan umum (25%), kamus (5%), ensiklopedia (5%), tentu juga sastra (50%). Seharian duduk membaca buku di Rumah Puisi yang ruangannya berdinding kaca tidak cepat mendatangkan bosan. Waktu terasa begitu cepat berlalu.
Baca lebih lanjut

‘Bersastra-sastra’ di Hari Sastra

MUHAMMAD SUBHAN
Pos-el: rinaikabutsinggalang@gmail.com

SEJARAH sastra Indonesia memasuki alaf baru seiring pemerintah menetapkan tanggal 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia (HSI). Maklumat Hari Sastra (MHS) telah diproklamirkan sejumlah sastrawan, dipelopori Taufiq Ismail (bersama istri; Ati Ismail), Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Raudha Thaib, Rusli Marzuki Saria, Helvi Tiana Rosa, dan beberapa nama lainnya. Dihadiri puluhan sastrawan dari berbagai daerah di Tanah Air, MHS dipusatkan kegiatannya di SMA Negeri 2 Bukittinggi, Ahad 24 Maret 2013. Wakil Menteri Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti datang mewakili pemerintah. Dengan begitu, resmilah Indonesia memiliki “Hari Raya Sastra” yang akan dirayakan setiap tahun.

Penetapan HSI pada tanggal 3 Juli merujuk pada hari lahir sastrawan besar Abdoel Muis. Sastrawan yang lahir pada 3 Juli 1883 di Bukittinggi itu adalah penulis novel Salah Asuhan (1928) dan Pertemuan Jodoh (1933). Di samping itu, Abdoel Muis juga merupakan Pahlawan Kemerdekaan pertama, yang dianugerahkan Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.
Baca lebih lanjut

Kembalikan Indonesia Padaku

Saya bukan penyair, jadi kurang pandai mencipta puisi. Saya juga bukan pembaca puisi yang baik, jadi saya kurang bisa membaca puisi dengan gaya khas para penyair ketika mereka membacakan puisi-puisi hebat. Tetapi saya menikmati puisi, menyukai puisi, dan kadang-kadang bila saya lagi senang hati membaca puisi; puisi apa saja.

Di penghujung tugas saya di Rumah Puisi Taufiq Ismail, minggu terakhir Desember 2012, pertama kali saya membaca puisi di hadapan penyair Indonesia yang banyak menginspirasi kepenulisan saya. Puisi yang saya baca berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku”. Sahabat saja M. Jujur, seorang pencipta lagu dan pemusik, berkenan mengiringi saya baca puisi. Dan seorang sahabat yang bekerja sebagai wartawan TVRI Sumatera Barat Yansen, mengabadikannya dalam sebuah rekaman, dan videoklipnya diunduh di Youtube.

Seperti saya katakan di atas, saya bukan pembaca puisi yang baik, dan puisi yang saya baca itu dapat dilihat DI SINI.
Baca lebih lanjut

Membawa Sastra ke Sekolah

MUHAMMAD SUBHAN
email: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

Di era 60an hingga 70an bisa disebut sastrawan-sastrawan asal Minang menempati posisi penting dalam ranah kesusasteraan nusantara. Sejumlah karya besar mereka baik dalam bentuk puisi maupun prosa menjadi perbincangan dan rujukan banyak orang. Di sekolah-sekolah tingkat rendah hingga perguruan tinggi, buku-buku sastrawan Minang menjadi bacaan wajib dan masuk dalam kurikulum pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sumatra Barat pun menjadi kiblat sastra Tanah Air.

Sederetan nama besar satrawan Minang itu, di antaranya Abdoel Moeis, Asrul Sani, Rivai Apin, Marah Rusli, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Selasih, dan beberapa nama lainnya. Campur tangan Penerbit Balai Pustaka yang juga didominasi oleh orang-orang Minang di dalamnya menjadikan karya-karya para sastrawan Minang semakin mendapat tempat dan meluas penyebarannya ke berbagai daerah.
Baca lebih lanjut

Gerakan Budaya Baca-Tulis dari Rumah Puisi

MUHAMMAD SUBHAN

Irzen Hawer, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat tidak pernah bermimpi bisa melahirkan dua novel dalam waktu relatif singkat, enam bulan. Padahal, di usianya yang sudah beranjak 52 tahun itu, sebelumnya tidak pernah terpikir akan menulis. Setelah dua novel itu benar-benar lahir baru ia termenung; ke mana saja ia selama ini sehingga tidak satu pun karya tulis yang ia bukukan.

“Saya benar-benar merasa rugi, di usia yang sudah tua ini baru mau menulis. Andai dulu saya menulis, sejak usia muda, mungkin sudah puluhan buku yang saya hasilkan,” sesal Irzen Hawer dalam kesempatan berbincang-bincang dengannya beberapa waktu lalu.

Sarjana Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Padang tamatan 1985 ini, telah merampungkan dua novel berkultur Minangkabau yang masing-masing berjudul “Cinta di Kota Serambi” (250 halaman) dan “Gerhana di Kota Serambi” (233 halaman). Kedua naskah novel ini sudah terbit. Heboh di Sumatera Barat, khususnya di Padangpanjang. Sejumlah kegiatan kepenulisan  ia isi. Di samping itu, ia tidak berpuas diri dengan dua novel yang diterbitkannya, ia terus membaca banyak buku khususnya novel-novel terjemahan dari pengarang-pengarang ternama dunia. Bosan membaca ia pun mengisi kekosongan hari-harinya di depan laptop sembari merampungkan novel berikutnya.
Baca lebih lanjut